Skip to content

Ikatan Perjanjian

Ketika seseorang menyerahkan hidup kepada Tuhan, sebenarnya hal tersebut merupakan ikatan perjanjian atau covenant dengan Allah. Tetapi banyak orang yang belum mengerti apa artinya menyerahkan diri secara benar kepada Allah. Biasanya, orang menyerahkan diri kepada Allah karena sedang dalam satu keadaan yang sulit, terancam, atau membutuhkan sesuatu yang ia tidak sanggup penuhi. Ia harus minta pertolongan tangan yang kuat, dalam hal ini, tangan Tuhan. Penyerahan seperti ini sebenarnya sebuah sikap manipulatif, yakni sikap untuk memanfaatkan atau untuk mengeksploitasi Allah. Sebenarnya ini adalah sikap yang tidak patut. Tetapi, inilah yang dilakukan oleh orang-orang Kristen yang belum dewasa. 

Banyak orang Kristen bersikap seperti anak kecil terhadap Tuhan. Seorang anak kecil menyerahkan sesuatu kepada orangtuanya hanya karena supaya orangtuanya campur tangan atau terlibat di dalam persoalan anak itu. Sikap seperti ini adalah sikap oportunis (mencari keuntungan tanpa memperhatikan kepentingan orang lain) dan manipulatif (menyalahgunakan sesuatu demi kepentingannya sendiri). Mekanisme hubungan antara umat dan ilah-ilah atau dewa-dewa seperti ini dalam banyak agama sudah bisa, tetapi kekristenan tidak mengajarkan demikian. Bagi orang Kristen yang belum dewasa, Tuhan memaklumi keadaan mereka dan sering kali mengabulkan apa yang menjadi permintaan mereka. Tetapi Allah Bapa menghendaki kita bisa berubah dan bertumbuh dewasa.

Ketika kita berkata, “Aku menyerahkan hidupku kepada-Mu,” ini berarti kita sedang mengikat perjanjian dengan Tuhan Semesta Alam. Hal ini tentu tidak hanya berlalu begitu saja. Seakan Tuhan puas ketika kita menyatakan komitmen tersebut tanpa harus berbuat apa-apa. Sesungguhnya pengikatan perjanjian dengan Tuhan memiliki konsekuensi. Konsekuensi penyerahan kita kepada Tuhan adalah suatu komitmen untuk dimiliki oleh Allah. Harus dipahami bahwa pemilikan yang pantas bagi Allah adalah seratus persen dari kehidupan kita. Kurang dari seratus persen, maka itu tidak memenuhi persyaratan penyerahan diri kepada Allah dalam ikatan perjanjian. Kita sama sekali tidak dapat kompromi terhadap standar dengan hanya menyerahkan sebagian hidup, apalagi kalau hanya menyerahkan persoalan-persoalan hidup saja untuk supaya Tuhan campur tangan dalam masalah hidup kita. Pemilikan hidup kita dimiliki oleh Tuhan, harus mutlak dan absolut seratus persen. Lalu, komitmen kita dalam penyerahan itu dengan durasi tidak terbatas, artinya kekal. Kita tidak boleh menarik atau mengambil alih kembali apa yang telah kita serahkan kepada Tuhan. Hidup kita sudah dijadikan alat bagi-Nya. 

Hal ini paralel dengan ungkapan bahwa kita tidak lagi berhak atas diri kita sendiri. Ketidakberhakan ini merupakan standar yang harus dicapai oleh orang percaya secara mutlak. Sebab memang sudah sepantasnya kita melakukan hal demikian bagi Tuhan yang juga telah menyerahkan segenap hidup-Nya bagi penebusan umat manusia. Dalam Perjanjian Lama, kita menemukan bahwa untuk mengikat perjanjian dengan Allah, orang Israel harus disunat. Paulus juga berbicara mengenai sunat di dalam Perjanjian Baru sebagai tanda milik Allah. Dalam Perjanjian Baru, sunat kita itu adalah sunat batin yang tidak terjadi seara jasmaniah (Ef. 2:11; Gal. 6:12-16; Flp. 3:3). Sunat batin di sini menunjuk pada kesediaan diri orang percaya untuk “melukai kenikmatan dosa.” Jika sunat fisik adalah pemotongan organ vital manusia yang dapat menikmati puncak kenikmatan, maka sunat batin adalah pemotongan kenikmatan atau kebahagiaan dunia dan dosa yang selama ini berada dalam diri kita. Apa yang digemari oleh jiwa atau daging kita dan bukan berasal dari Tuhan, harus dengan sadar dan sengaja kita lukai. Kalau bagi bangsa Israel, mereka disunat secara fisik tanpa melibatkan kesadaran mereka, sebab hal itu terjadi sejak mereka masih bayi. Tetapi hal ini berbeda dengan orang percaya. Sunat batin harus dilakukan dengan sadar dan sengaja oleh diri sendiri. 

Jadi seseorang yang mengikat perjanjian dengan Allah harus mau ‘melukai’ dirinya sendiri. Hal ini terkait dengan yang disebut penyangkalan diri. Tuhan mengatakan, “jika kamu tidak menyangkal diri, engkau tidak dapat mengikut Aku,” artinya seseorang harus menanggalkan semua puncak kenikmatannya. Hal ini telah dipraktikkan para rasul dan jemaat mula-mula yang hidup terlepas dari segala kesenangan dunia. Kita wajib mengikuti jejak para rasul serta jemaat mula-mula yang berpusat pada pemenuhan perjanjian dengan Tuhan, yakni hanya dapat dibahagiakan oleh Dia saja. Kita akan sangat beruntung jika kita memiliki penyerahan diri kepada Tuhan secara benar dalam sebuah ikatan perjanjian. Apa pun yang terjadi, apa pun yang kita alami, itu bukan kecelakaan dan tidak akan membawa bencana. Setiap luka dan kepedihan yang kita alami memang masih dapat membuat hati kita berduka, tetapi pasti memiliki atau mengandung berkat kekal.