Skip to content

Tempat di Hadirat Allah

Ada satu hal yang sungguh-sungguh kita khawatirkan, yang juga menjadi suatu ketakutan. Kalau jemaat yang dilayani tidak memiliki kerinduan untuk memiliki tempat di hadirat Allah. Salah satu buktinya, tidak sanggup berdoa lebih dari 10 menit, tidak mampu berdoa lebih dari 15 menit. Sepertinya, tidak membutuhkan Dia. Kalaupun berdoa, ke gereja, ikut doa puasa dan lain-lain, yang dibutuhkan itu bukan Tuhan sendiri, melainkan pertolongan-Nya. Tipis memang bedanya, antara Tuhan dan berkat-Nya; antara Tuhan pribadi dan kuasa-Nya. 

Kita harus merasa membutuhkan Tuhan, Tuhan sendiri. Ini sebuah fakta, dimana kalau seseorang jatuh cinta kepada orang lain atau sosok, misalnya seorang wanita mencintai pria, dia ingin punya tempat. Tapi, pria itu belum tentu merespons dengan baik, sehingga seperti bertepuk sebelah tangan. Dia ingin berbalas; sang pria menyambut tepukannya, tapi pria itu belum tentu mau menyambutnya. Dan kalau boleh dibahasakan, wanita ini berkata kepada pria itu: “beri aku tempat di hatimu.” 

Atau pria jatuh cinta kepada wanita, dan dia tidak bisa tertarik pada wanita lain karena dia merasa wanita ini paling cantik, paling memikat hatinya, dan seakan-akan dia berkata: “beri aku tempat di hatimu. Aku membutuhkan engkau.” Jadi, jangan heran kalau orang bisa bunuh diri ketika cintanya ditolak. Mengapa kepada Tuhan, kita tidak seperti itu? “Beri aku tempat, Tuhan.” Jangan menganggap Tuhan itu begitu murahnya, lalu kita menggampangkan. Kita lupa, Dia punya karakteristik. Dia punya hakikat. Tuhan tidak bisa diatur oleh siapa pun dan apa pun. Dia mengatur diri-Nya sendiri. 

Apa artinya ini? Ketika kita berkata “beri aku tempat di hadirat-Mu,” yang kita persoalkan hakikat-Nya. Yang kita persoalkan karakteristik-Nya, bagaimana kita bisa memiliki tempat di hadirat Allah. Tapi kalau kita sudah tidak memiliki niat untuk memiliki tempat di hadirat Allah, kita tidak akan mempersoalkan karakteristik dan hakikat Allah. Kita tidak peduli mau jadi apa. Bagaimana perasaan Allah terhadap kita, tidak kita pedulikan. Dan kita tidak akan selamat. Jangan menganggap dengan percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, otomatis kita masuk surga. Itu salah. Allah punya karakteristik. Kalau itu cukup membuat orang selamat, maka tidak perlu ada Alkitab. 

Selembar kertas dengan tulisan “Percayalah kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, engkau selamat,” selesai. Tidak perlu ada kalimat: “Jadikan semua bangsa murid-Ku, bertumbuhlah, jadilah sempurna,” dan lain sebagainya. Dunia telah mencuri hati banyak orang. Benar kata Yang Mulia Tuhan kita, Yesus Kristus, di Injil Yohanes pasal 10, “pencuri datang untuk mencuri dan membunuh.” Dia mencuri hati, sehingga kita tidak punya kerinduan ada di hadapan Allah. 

Ada banyak kerinduan, keinginan, hasrat, ada desakan banyak kebutuhan, tapi bukan di hadirat Allah. Memercayai Allah ada saja, rasanya sulit. Kita tidak mampu menjangkau keberadaan Allah. Itu yang kita khawatirkan dan takuti. Mengapa? Karena itu sudah terjadi dalam hidup kita. Itu terjadi dalam hidup seorang teolog, dosen, pendeta, yang tidak membara untuk mencari tempat di hadirat Allah. Orang-orang yang hari ini tidak merasa membutuhkan tempat di hadirat Allah, jangan harap dia punya tempat di kekekalan nanti. Allah bukan Allah yang murahan. Dia terikat dengan karakteristik-Nya, Dia punya hakikat. 

Coba, anak-anak yang tidak mengenal orangtua. Tahunya hanya mainan, manisan, balon, jalan-jalan, dia tidak pernah mengerti dan belum mengerti memang, papanya punya perusahaan multinasional.  Yang dia lihat hanya manisan, gulali, balon, mobil-mobilan. Mari kita melihat Allah yang besar, yang dahsyat, dari kekal sampai kekal. Dan kita boleh menjadi anak-anak Allah. Kalau kita mengerti hal ini, perburuan kita akan Tuhan adalah hal utama dan satu-satunya dalam hidup. Tuhan akan menandai orang-orang yang sungguh-sungguh. 

Yang masih muda-muda, bersyukurlah karena di usia muda, sudah diarahkan kepada kekekalan seperti ini. Pasti kita tidak akan pernah menyesal. Tapi lihat, banyak anak-anak muda yang mata hatinya dibutakan dan semakin buta, sampai titik tidak bisa mengerti ada Allah yang hidup dan ada kekekalan. Jangan sampai kita tidak memiliki kerinduan untuk ada di hadapan Allah; tidak peduli kita punya tempat atau tidak di sana. Kita harus peduli, takut, dan gentar. Makanya, periksa terus hidup kita. 

Tidak sedikit dari antara kita yang dapat dengan mudah kembali pada putaran siklus hidup yang kita miliki dari hari ke hari, dan tergulung dalam lipatan, lekukan gaya hidup yang sudah sulit diubah. Kalau kita tidak sungguh-sungguh berjuang untuk keluar dari lipatan itu, dari siklus hidup itu, kita tidak akan bisa keluar. Kita harus berusaha keluar. Bagaimana caranya? Ubah rutinitasmu. Apa yang biasa kita lihat, jangan dilihat, jika itu tidak perlu. Jika biasa bangun siang, bangunlah pagi berdoa. Jika kita terbiasa mengisi waktu dengan banyak kesibukan, beri waktu tertentu bertemu Tuhan. Ubahlah rutinitasmu. 

Orang-orang yang hari ini tidak merasa membutuhkan tempat di hadirat Allah, jangan harap dia punya tempat di kekekalan nanti.